Sabtu, 16 Februari 2013

melanjutkan atau tidak?

Saturday, 16 February 2013

Sabtu sore nan mendung berhawa sejuk di kota hati beriman, sementara perut masih kenyang dan spaghetty gocengannya kfc masih saja menggantung di paku ruang santai paviliun, korban laper mata. :D

Kembali ke judul melanjutkan atau tidak melanjutkan. Melanjutkan di sini bagi seorang dokter *insya Allah besok kalo udah sumpah* artinya adalah ke PPDS ya. (pendidikan profesi dokter spesialis). Setelah melewati hampir seluruh stase yang ada program spesialisasinya, saya sudah memiliki beberapa gambaran mengenai melanjutkan ke bagian mana. Huih gaya memang. tidak apa-apa haha.

Sejatinya setelah menikah, tidak ada lain cita-cita seorang perempuan melainkan memiliki rumah tangga yang bahagia dunia akhirat. Lebih-lebih mengenai kehidupan seorang muslimah, bahwa keluarga adalah jalan paling dekat dan realistis menggapai surga. Pernikahan bagi kami adalah seluruh kehidupan kami. Namun nantinya saya tidaklah memiliki hanya sebuah janji. Melainkan ada sumpah lain, yakni sumpah profesi.

Pada perjalanannya saya menemui beberapa titik pandang mengenai kehidupan seorang dokter spesialis perempuan dibandingkan dengan dokter puskesmas. Duh dokter puskesmas itu sangat-sangat selow kehidupannya, berangkat jam setengah 8 pulang jam 12, bagaikan anak SD, ditambah lagi tidak ada tekanan apa-apa. Cocok sekali untuk ibu rumah tangga yang mau nyambi jadi dokter. HAHA :D.Paginya nyiapin sarapan, nganter anak sekolah, pulangnya jemput anak, sambil belanja terus masak makan siang, kegiatan puskesmas paling apa sih? posyandu dan lain lain.Pasien paling beberapa, obat mentok yang gratisan di puskesmas, sore masih bisa praktek, main-main sama anak nemenin anak belajar, wkwkwkwk gimana terasa sempurna kan ya?? :D

Entahlah pemandangan paket kehidupan santai seperti itu sempat membayangi saya beberapa waktu, ya sampai sekarang sih. Betapa cocoknya kehidupan puskesmas apabila dijodohkan dengan ibu rumah tangga. Tapi tiba-tiba saya tergugah beberapa konsulen yang menyarankan saya untuk sekolah lagi. Bahwa jaman sekarang tidak cukup menjadi dokter umum semata. Apalagi kedua orangtua yang dengan sepenuh hati meminta saya untuk sekolah lagi. Duh jan makin beratttt untuk tidak sekolah lagi...

Di lain sisi saya melihat kehidupan konsulen perempuan yang "begitu" kesepian. Seolah melihat masa depan saya jika saya terlalu sibuk, tidak dapat bercengkrama dengan anak, tidak dekat dengan anak sendiri, dan masih banyak lagi, yang membuat saya menimang-nimang untuk spesialisasi.

Namun kemudian saya teringat apa yang dikatakan oleh dosen penguji saya, bahwa kehidupan ini adalah amanat, menjadi dokter itu juga amanat, diberi kelebihan adalah amanat, mengapa tidak melanjutkan lagi apabila memang diberikan kelebihan dari Allah, segala kehidupan yang seperti itu dapat diatasi apabila niat kita baik. Ya, semakin lama saya semakin menyadari, bahwa menjadi dokter memang keinginan saya, namun apabila Allah tidak memberikan kemampuan kepada saya untuk menjadi mampu dan sanggup menjalani sekolah kedokteran dan kelak mampu menjadi dokter, maka saya tidaklah pernah menjadi dokter. Mungkin saja sudah tersisih dari babak seleksi awal masuk FKIK UMY. Mungkin saja tersisih saat menjalani blok demi blok. Mungkin saja mengundurkan diri saat cobaan mendera masa-masa dokter muda. Baiklah, saya merubah bahwa dokter memang fardhu kifayah, tapi menjadi dokter adalah amanah. Dokter diberikan kelebihan berupa jasmani dan rohani yang sehat, mental yang kuat, untuk memberikan keputusan saat itu juga, menjadi perpanjangan tangan pertolongan dari Allah untuk mengangkat rasa "sakit" pasien-pasiennya. 

Maka dari itu, saya setuju, bahwa dokter adalah amanah. Melanjutkan adalah amanah. Kalo memang memiliki kesempatan dan kelebihan mengapa tidak?. Mengenai spesialisasi apa? rahasia. hehehehe liat saja nanti saya menjadi dokter spesialis apa. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar